JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Perusahaan minyak dan gas (migas) asal Amerika, Chevron mengunakan teknologi injeksi bahan kimia untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi minyaknya. Chevron memulai teknologi tersebut sejak tahun 2012.
Karena teknologi tersebut dimasukan kedalam tanah, dikhawatirkan dapat menimbulkan pencemaran air tanah di akuifer setempat. Itulah yang diungkapkan Manager Kampaye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pius Ginting bersama Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
“WALHI dan JATAM mengkhawatirkan dampak lingkungan dari teknologi injeksi bahan kimia yang digunakan Chevron. Teknologi injeksi bahan kimia ini beresiko menimbulkan pencemaran air tanah di akuifer setempat. Terlebih bahan radioaktif bisanya dipakai dalam mendeteksi rekahan yang timbul dari bahan yang diinjeksikan,” seperti dikutip press rilis yang diterima BeritaHUKUM.com, Selasa (27/3).
Terlebih pihak pemerintah dari BP Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyetujui teknologi injeksi bahan kimia ini.
Untuk itu, WALHI dan JATAM mendesak kepada KLH, BP Migas, dan Chevron untuk mengungkapkan kepada publik jumlah bahan kimia yang diinjeksikan. “Jenis bahan kimia yang dipakai, resiko yang ditimbulkan dan peringatan antisipasi yang diberikan kepada masyarakat yang berpotensi terdampak. Khususnya mereka yang mengkonsumsi air dari sistem air tanah dari lokasi sekitar ladang migas Chevron,” tegas Pius.
WALHI dan JATAM juga mendesak agar KLH yang langsung mengambilan sampel air tanah di titik-titik monitor dan juga memantaunya. Sehingga tidak hanya mengandalkan laporan periodik Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) perusahaan.
Sekedar informasi, di negara asalnya sendiri, teknologi injeksi bahan kimia dan air (hidraulic fracturing) yang digunakan Chevron sedang mengalami kontroversi. Dimana pada Desember 2011, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, atau yang dikenal dengan EPA.
Mengambil sampel air di blok minyak milik Chevron di lembah terpencil di Wyoming. Dari analisis tersebut, disimpulkan bahwa bahan-bahan kimia yang dipakai tampaknya menyebabkan pencemaran terhadap persediaan air masyarakat lokal setempat.
Karena mengandung bahan kimia sintesis dan cairan dari hydraulic fracturing, serta konsentrasi benzene diatas baku mutu Federal Safe Drinking Water Act standar negeri paman sam tersebut.
Produksi minyak di Indonesia sendiri, sebanyak 40 persen berasal dari blok minyak yang dikuasai Chevron di Provinsi Riau. Yang mencapai 350.000 barel per hari. Dengan teknologi injeksi bahan kimia, perusahaan tersebut menargetkan terjadi kenaikan produksi maksimal 850.000 barel per hari. (bhc/biz)
|