JAKARTA, Berita HUKUM - Mantan Ketua DPR Setya Novanto menguji Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pengujian kedua UU tersebut terkait perekaman pembicaraan Pemohon dengan petinggi PT Freeport yang menyeretnya menjadi terperiksa. Sidang perdana perkara dengan Nomor 20/PUU-XIV/2016 itu digelar pada Rabu (24/2) di Ruang Sidang MK.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penyelidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia. Pemohon menilai keberadaan norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman.
Pasal 5 UU ITE menyatakan,
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Adapun Pasal 44 huruf b UU ITE menyatakan,
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Sedangkan Pasal 26A UU Tipikor menyatakan,
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Tidak adanya pengaturan tersebut, dapat menciptakan situasi seperti yang dialami Pemohon, yaitu dianggap dan dikatakan telah melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, menerima pemberian atau janji. Tudingan tersebut, menurut Pemohon, hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu, dalam hal ini hasil rekaman yang dilakukan oleh Ma'roef Sjamsudin.
Dalam kasus Novanto, Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjang kontrak PT. Freeport Indonesia dari rekaman pembicaraan yang direkam oleh Ma'roef. Dalam rekaman tersebut diduga merupakan suara pembicaraan antara Pemohon dengan Ma'roef dan Muhammad Riza Khalid di salah satu ruangan hotel yang terletak di kawasan Pacific Place, Jakarta Pusat. Pembicaraan tersebut diakui Ma'roef, direkam tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak lain yang ada didalam rekaman tersebut dan dilaporkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
"Kalaupun suara dalam rekaman tersebut adalah benar suara Pemohon, menurut Pemohon, secara hukum hasil rekaman tersebut harus dianggap sebagai rekaman yang tidak sah, ilegal karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang dengan cara yang tidak sah. Saudara Ma'roef Sjamsudin bukanlah seorang penegak hukum dan tidak pernah diperintah oleh penegak hukum untuk melakukan perekaman tersebut serta tanpa persetujuan Pemohon, atau para Pemohon yang ada dalam pembicaraan tersebut atau para pihak yang ada dalam pembicaraan tersebut," terang Syaefullah Hamid, SH, MH selaku kuasa hukum Pemohon.
Pemohon menilai tindakan perekaman tanpa kepentingan penegakan hukum oleh bukan aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk itu serta penggunaanya sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
"Tindakan merekam secara tidak sah, jelas-jelas melanggar konstitusi, hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 006/PUU/I/2003 disebutkan dalam pertimbangannya bahwa karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan Hak Asasi Manusia dimana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945," sambungnya.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan ketiga pasal tersebut dan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945. "Menyatakan Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai 'informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya'," tandasnya.
Nasihat Hakim
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat memberikan saran perbaikan permohonan. Arief menjelaskan bahwa tidak ada kedudukan hukum pemohon sebagai Anggota DPR. "Anggota DPR tidak memiliki legal standing. Anggota DPR dapat diberikan legal standing, tapi pada posisi untuk undang-undang yang bagaimana? Itu nanti harus ditambahkan di situ," jelasnya.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan hingga 8 Maret 2016. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/mk/bh/sya) |