Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index

Kriminal    
 
Kekerasan Terhadap Wartawan
Kekerasan Terhadap Jurnalis Dampak Ketidaksempurnaan UU No 40/1999 tentang Pers
2017-11-19 00:49:40

Perwakilan organisasi Majelis Pers saat di Kantor Sekretariat Bersama Majelis Pers, Gedung Dewan Pers, lt. 5 Jakarta, Jum'at (17/11).(Foto: Istimewa)
JAKARTA, Berita HUKUM - Refleksi terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami para wartawan maupun media terjadi disepanjang tahun, hal ini menjadi diskursus sengketa pers (polemik) atas ketidaksempurnaan Undang Uandang No.40 tahun 1999 tentang Pers. Bentuk diskriminasi, penghinaan, pengancaman sampai tindak kekerasan terhadap wartawan kian menjegal kemerdekaan pers. Hal itu disampaikan Sekjen Majelis Pers, Ozzy Sulaiman Sudiro di Kantor Sekretariat Bersama Majelis Pers, Gedung Dewan Pers, lt. 5 Jakarta, Jum'at (17/11).

Di hadapan para perwakilan organisasi pers Nasional yang tergabung di Majelis Pers, ia mengatakan pentingnya pemikiran, dan tenaga kita semua untuk mengajukan Judicial Review terhadap UU Pers. Dikatakannya, Mahkamah Konstitusi RI harus menerima aspirasi insan pers, atau setidaknya ada protaf yang mengatur aturan-aturan baku sebagai penguat dalam bentuk Peraturan Pelaksana (PP) dari UU Pers itu sendiri.

"Bahwa keberadaan UU Nomer 40 tahun 1999 tentang Pers menurut kami masih belum disebut sebagai undang-undang atau tepatnya belum bisa dijadikan sebagai Undang Undang tunggal yang mengatur Pers, karena ketentuan ketentuan didalamnya belum mengakomodir semua asfek pers, dan sangat lemah, lebih lebih tidak ada PP misalnya, sehingga dalam hal ini sangat menyulitkan sekali para penegak hukum didalam mengaplikasikan Undang Undang tersebut, jadi ketidak sempurnaan UU Pers tersebut mengakibatkan pengabaian eksistensi terhadap Undang Undang itu sendiri, kalau hal ini terus menerus dibiarkan akan berdampak preseden buruk dan sudah pasti berpotensi membunuh kemerdekaan pers seperti yang saat ini kita rasakan."

Mengacu UU No: 40 tahun 1999, bahwa karya jurnalistik tidak menganut kriminalisasi, tapi apa yang terjadi saat ini wartawan dipidanakan dengan KUHP, dan UU ITE duduk dibangku pesakitan karena berita. Banyak kasus delik pers dan sengketa terhadap pers yang berakhir di hotel prodeo, padahal kalau kita pahami, bahwa pers adalah sebuah product etika yang seharusnya hanya diberi sanksi profesi, apabila telah terjadi pelanggaran kode etik.tidak bisa disamakan terhadap kejahatan kriminal, dengan menggunakan KUHP maupun menggunakanUU ITE," papar Ozzy

Ditegaskan oleh Ozzy, mandulnya UU Pers, menjadi celah para kapitalis, neo imperialis (konglomerasi Media) maupun para "Big Brother" para penguasa dan pengusaha yang memiliki kepentingan untuk membajak dan memonopoli gerak dan ruang kemerdekaan pers.

Sejatinya kemerdekaan pers adalah Hak asasi "Natural Righ" yaitu suatu anugrah bagian penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara media terkoyak koyak, kalangan intelektual tersudut, pemerhati pers seakan bungkam, dan yang lantang hanyalah para politikus dengan sumpah serapahnya atas nama media. "mau dibawa kemana media kita, mau diapakan temen-temen pers kita nantinya. Semua berkoar koar hanya perjuangan kata-kata tanpa makna, teoritis dalam panggung realitas politik."

"Sepanjang sejarah Pers Nasional Kita hanya mengenal Pers perjuangan dan Pers Perlawanan, yaitu Perjuangan terhadap Hak asasi,Kedaulatan dan martabat harga diri bangsa, Perlawanan terhadap ketidak adilan, kebodohan dan kemiskinan, bukan berpihak pada penguasa otoriterian dan pengusaha kapitalisme, neo imperialisme sebagai bentuk warisan kolonial alumnus penjajah," ucap Ozzy.

Di era kemerdekaan pers, tak ada larangan bagi jurnalis, selama pemberitaan itu sesuai dengan data dan fakta bersumber pada refrensi yang valid dan terpercaya, "Itu artinya bahwa Pers adalah corong public yang dilindungan kebebasannya."

Sambung Ozzi, awalnya Majelis Pers berharap adanya dewan pers sebagai pemegang amanah UU No: 40 tahun 1999 tentang Pers, yang berperan sebagai lembaga pelindung, membina dan mengayomi wartawan, namun dalam kenyataannya malah terkesan tidak hadir disaat para awak media mengalami tindakan tidakan intimidasi dan kekerasan terhadap kuli tinta, justru kurang sigap dalam memperjuangkan Hak Hak jurnalis, dan telah terjadi pembiaran terhadap awak media dan para wartawan dengan dalih dianggap tak diakui dan tak sesuai menurut ukurannya versi akal-akalan dewan pers.

"Kami anggap sikap dari dewan pers atas kebijakan-kebijakannya yang 'pilih pilih tebu' telah mendiskriminasi media dan wartawan adalah kecerobohan dan kebodohan yang dipertontonkan ke public," tegas Ozzy.

Majelis Pers mengajak seluruh para pemilik media, para jurnalis, para organisasi pers maupun forum pers dan lembaga pers untuk bersatu dan jangan mudah terpancing dengan bentuk provokasi apapun.

"Kami menghimbau kepada teman-teman pers semuanya untuk tetap jalankan fungsinya sebagai kontrol sosial pilar ke empat (4) demokrasi. Dalam dekat ini, kami akan merumuskan rancangan penyempurnaan UU Pers 40/1999 bersama para pakar hukum dibidangnya untuk diajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau meminta DPR RI untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat sebagai bentuk perumusan Peraturan Pelaksana (PP) dari UU Pers jika Mahkamah Konstitusi menolak adanya JR yang kami ajukan nanti," paparnya.)bh/db)


 
Berita Terkait Kekerasan Terhadap Wartawan
 
Legalisasi 'Law As a Tool of Crime' di Penangkapan Wilson Lalengke
 
Ketua Komite I DPD RI Desak Polisi Usut Tuntas Pelaku Penganiayaan terhadap Jurnalis di Pringsewu
 
AJI Desak Kepolisian Usut Tuntas Kekerasan Terhadap Jurnalis Nurhadi
 
Jurnalis MerahPutih.com Hilang Saat Meliput Aksi Demo Penolakan UU Omnibus Law
 
Penganiayaan, Intimidasi dan Perampasan Alat Kerja Jurnalis Suara.com
 
Untitled Document

 Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Pledoi | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index


  Berita Terkini >>
 
Di Depan Jokowi, Khatib Masjid Istiqlal Ceramah soal Perubahan
Enam bulan pertikaian di Gaza dalam angka
Tradisi Idulfitri Sebagai Rekonsiliasi Sosial Terhadap Sesama
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Moralitas dan Spiritualitas Solusi Masalah Politik Nasional Maupun Global
Carut-Marut Soal Tambang, Mulyanto Sesalkan Ketiadaan Pejabat Definitif Ditjen Minerba
Untitled Document

  Berita Utama >
   
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet
Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu
Dukung Hak Angket 'Kecurangan Pemilu', HNW: Itu Hak DPR yang Diberikan oleh Konstitusi
100 Tokoh Deklarasi Tolak Pemilu Curang TSM, Desak Audit Forensik IT KPU
Untitled Document

Beranda | Tentang Kami | Hubungi | Redaksi | Partners | Info Iklan | Disclaimer

Copyright2011 @ BeritaHUKUM.com
[ View Desktop Version ]