Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin menyatakan, Pancasila berarti “kata tunggal pemersatu” bangsa Indonesia yang majemuk. Sehingga pancasila lebih dari “pernyataan politik” (political statement), tapi juga “pernyataan ideologis” (ideological statement). Yang mengajukan nilai-nilai etika dan moral yang bersifat universal.
Pancasila berarti pula bertemu walaupun Pluralisme keagamaan tidak harus disama-samakan, dan persamaan tidak harus dibeda-bedakan. Karena pancasila adalah wadah okomodasi nilai-nilai etika yang sama dari berbagai agama untuk kepentingan hidup berbangsa dan bernegara. “Pancasila selain pernyataan politik (political statement), tapi juga pernyataan ideologis (ideological statement), yang mempersatukan berbagai kepentingan dan aliran politik yang ada. Baik kebangsaan maupun atas dasar keagamaan” katanya dalam ‘Taushiyah Kebangsaan’ yang berlangsung di gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (18/8).
Din menceritakan kembali sejarah penetapan Pancasila sebagai falsafah dan dasar Negara, dimulai Sembilan tokoh dari berbagai golongan telah menyepakati Piagam Jakarta yang memuat pancasila dengan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun ada keberatan dari sebagian kelompok akan tambahan tujuh kata di balik kata ketuhanan. Maka pada Sidang PPKI, Ketua Hoof Bestur Muhammadiyah waktu itu, Ki Bagus Hadikusumo, mengusulkan diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Pancasila sekarang.
Din menambahkan, dengan di terimanya Pancasila sebagai falsafah dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjadikan NKRI ini Negara Perjanjian atau Darul Ahdi. Dimana perjanjian atau kesepakatan sebagai bangunan yang di tegakkan segenap warga Negara. “Negara perjanjian (Abode of Concensus atau Dar al-‘Ahd) adalah Negara yang di tegakkan dan di bangun atas dasar perjanjian yang di sepakati segenap rakyat atau warga Negara “ tambahnya.
Kesepakatan dan perjajian ini bagi Din adalah perjanjian suci atau mengandung dimensi sakral. Dimana terjadi pada bulan Ramadhan. Dan para Tokoh Islam yang mewakili kelompoknya adalah umat yang berkualitas dan berintegritas. “Kerelaan mereka menghilangkan tujuh kata dan mengusulkan perubahan menjadi ketuhanan yang maha esa, merupakan manifestasi kenegarawanan dan kesadaran. Tidak bertentangan dengan ajaran Islam”, ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Dan kesepakatan ini mengikat setiap rakyat warga Negara. Bahkan, menjadi lintas zaman dari generasi ke generasi. Komitmen terhadap Negara Pancasila bagi umat Islam dapat di jadikan sebagai sikap keagamanan, dengan menepati dan memelihara janji dan amanat. “merupakan sikap dwifungsi yang pelu di ejawantahan, menjadi muslim dan orang Indonesia sekaligus. Dan sejalan dengan misi keKhalifahan manusia sebagai Wakil Tuhan di Bumi (khalifatullah fil ardh)”, imbuhnya.
Dengan motto “Bhineka Tunggal Ika”, seharusnya bangsa ini bisa, mempertahakan kemajemukan dalam keutuhan. Tetapi karena tidak mampu mengaktulisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa, dan kegagalan Negara merasukan nilai-nilainya kedalam system dan budaya bernegara (corporate culture) menyebabkan mengendurnya derajat penghatayatan rakyat terhadap janji mereka.
Padahal jeiak terdapat kesadaran di setiap rakyat NKRI. Akan timbul rasa pengabdian, pengorbanan dan perlombaan. Dimana warga Negara dituntut untuk memberikan pengabdian mereka bagi Negara, sebagai manifestasi komitmen mereka terhadap cita-cita bersama. “Sehingga warga Negara akan berlomba-lomba menampilkan prestasi dan keunggulan kerja serta kinerja dalam memajukan bangsa,” tandasnya. (biz)
|