Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index

Editorial    
 

REDD Sebuah Gagasan Meski Masih Dilingkupi Banyak Tantangan
Sunday 24 Mar 2013 04:02:28

Ilustrasi
Implementasi dari skema yang didukung PBB yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan melindungi hutan tropis sarat dengan sejumlah tantangan, namun hal ini dapat diatasi dengan solusi teknis dan meningkatkan niat politik, demikian menurut penulis publikasi baru dari Center for International Forestry Research (CIFOR).

Analysing REDD+: Challenges and Choices, yang dirilis (18/06) ini sebagai sisi lain dari Konferensi Tingkat Tinggi Rio+20, melaporkan kondisi terkini dari REDD+, kepanjangan dari Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation, dan juga konservasi dan pengelolaan hutan lestari, serta peningkatan cadangan karbon hutan. Studi tersebut – yang didasarkan pada tiga tahun penelitian di Asia, Afrika dan Amerika Latin – menawarkan sejumlah sudut pandang baru tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh REDD+, dan menyarankan cara-cara baru untuk mengatasi beberapa di antaranya.

“Terdapat banyak tantangan praktis, namun buku ini menunjukkan adanya sejumlah solusi teknis yang dapat dilakukan, sehingga terlihat bahwa masalah utama yang sebenarnya tekait dengan politik,” ujar Arild Angelsen, seorang ekonom lingkungan hidup yang bekerja untuk CIFOR dan profesor di Norwegian University of Life Sciences, yang juga merupakan editor utama dari buku tersebut.

“Anda tidak dapat menindaklanjuti perubahan iklim tanpa melibatkan REDD+.”
Tujuh tahun sejak diluncurkannya gagasan untuk mengurangi emisi melalui deforestasi yang dihindari, publikasi ini mengamati REDD+ secara kritis, mempertanyakan bagimana perubahan terjadi, dan bagaimana keberlangsungannya di wilayah kebijakan nasional tertentu. Selain itu juga menggarisbawahi sejumlah pilihan untuk mewujudkan REDD+ secara lebih efektif, efisien dan berkesetaraan.

“Gagasan REDD+ adalah sebuah cerita sukses,” ujar Angelsen. “Ini merupakan sesuatu yang benar-benar baru di mana faktor utama yang baru adalah dasar pembayaran berdasarkan performa atau hasil. Selain itu, hal ini juga membutuhkan sejumlah besar uang.”

“Kami membandingkannya dengan ‘pembangunan berkelanjutan (sustainable development) – sebuah ungkapan yang sangat menarik dan menjanjikan banyak hal. Kedua gagasan tersebut telah menjadi inspirasi bagi para pembuat kebijakan dan praktisi.”

Namun ketika REDD+ telah bergeser dari sebuah gagasan menuju dunia nyata, sejumlah kesulitan mulai menumpuk. Terdapat berbagai tantangan praktis maupun politis. Hal ini dimulai dari bagaimana mengukur dan mamantau besarnya emisi karbon yang dihindari dengan menjaga tegakan hutan, sampai dengan menentukan siapa yang seharusnya menerima pembayaran yang dihasilkan dari REDD+. Selain itu juga tentang bagaimana berkoordinasi dengan baik antar pemerintahan di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

“Rancangan dan implementasi REDD+ merupakan hal yang sangat menantang,” ujar Angelsen. “Kesulitannya terletak pada detil-detil yang mengikutinya – ketika Anda mulai masuk ke dalam kegiatan REDD+ secara mendetil, maka konflik akan bermunculan.”

Permasalahan REDD+ adalah bagaimana menentukan tingkat acuan agar dapat menyediakan landasan untuk mengukur dampak dari skemanya dalam bentuk emisi yang dikurangi atau dihindari.

Untuk menentukan pembayaran berdasarkan hasil, REDD+ memerlukan suatu standar mekanisme untuk mengukur seberapa besar karbon yang akan dilepaskan, jika hutan dihancurkan atau dirusak dan bukannya dilindungi. Ini merupakan tugas yang sulit – dihadapkan dengan masalah kurangnya data, besarnya ketidakpastian dalam memperkirakan laju deforestasi di masa mendatang, dan besarnya insentif untuk memperoleh perkiraan yang masih bias.

Analysing REDD+ yang dipublikasikan sebagai bagian dari Studi Komparatif Global CIFOR tentang REDD+ menyajikan sebuah pendekatan baru yang bertahap untuk menentukan tingkat acuan pada tingkat nasional, yang akan memampukan setiap negara untuk menentukan semua tingkat acuan yang penting tersebut; bahkan meski mereka memiliki tingkat kapasitas kelembagaan dan kemampuan yang rendah untuk mengumpulkan data.

Buku ini juga menyajikan beberapa berita yang menggembirakan terkait lokasi proyek-proyek percontohan REDD+. Keberhasilan REDD+ untuk benar-benar mampu mengurangi emisi karbon bergantung pada intervensi yang dilakukan pada wilayah-wilayah dengan deforestasi yang tinggi. Studi mendalam Analysing REDD+'s pada lokasi proyek di Brasil dan Indonesia menemukan bahwa proyek-proyek REDD+ disarankan untuk dilaksanakan di wilayah-wilayah dengan laju deforestasi dan kepadatan karbon hutan yang tinggi – sehingga akan menghasilkan dampak yang potensial.

Pada bagian penutup, Angelsen dan Direktur Jenderal CIFOR Frances Seymour, menyampaikan bahwa meski terdapat banyak ketidakpastian terkait REDD+, namun hal ini tidak seharusnya menyebabkan kelambanan. Mereka menyatakan jika sebaiknya tindakan ‘tanpa penyesalan’ harus segera dilaksanakan untuk menunjukkan kebijakan publik yang baik meski pada akhirnya tidak menghasilkan pengurangan emisi. Termasuk di antaranya adalah mengklarifikasi kepemilikan lahan, menghapus subsidi yang merugikan, dan memperbaiki akses terhadap data terkait hutan serta juga meningkatkan kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum.

Namun demikian, Angelsen menyampaikan bahwa tujuan utama REDD+ harus tetap untuk mengurangi emisi karbon.

“Berbahayanya perubahan iklim berisiko sangat tinggi sehingga kita harus bertindak; dan REDD+ adalah bagian utama dari apa yang harus kita lakukan,” ujar Angelsen. “Hal ini tidak sederhana, namun demikian, REDD+ tetap lebih mudah dan lebih murah dibandingkan usaha - usaha mitigasi yang lain. Menurut saya, masih ada sejumlah hal yang dapat memotivasi terkait REDD+. (bhc/rls/rat)


 
Berita Terkait
 
 
Untitled Document

 Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Pledoi | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index


  Berita Terkini >>
 
Apresiasi Menlu RI Tidak Akan Normalisasi Hubungan dengan Israel
Selain Megawati, Habib Rizieq dan Din Syamsuddin Juga Ajukan Amicus Curiae
TNI-Polri Mulai Kerahkan Pasukan, OPM: Paniai Kini Jadi Zona Perang
RUU Perampasan Aset Sangat Penting sebagai Instrument Hukum 'Palu Godam' Pemberantasan Korupsi
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan
Di Depan Jokowi, Khatib Masjid Istiqlal Ceramah soal Perubahan
Untitled Document

  Berita Utama >
   
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet
Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu
Dukung Hak Angket 'Kecurangan Pemilu', HNW: Itu Hak DPR yang Diberikan oleh Konstitusi
Untitled Document

Beranda | Tentang Kami | Hubungi | Redaksi | Partners | Info Iklan | Disclaimer

Copyright2011 @ BeritaHUKUM.com
[ View Desktop Version ]