JAKARTA, Berita HUKUM - Koordinator FITRA, Apung Widadi mencium gelagat jahat anggota DPR ingin 'merampok' uang negara tahun 2016. Gelagat itu terlihat dari dua wacana anggota DPR saat ini.
"Pertama, dana aspirasi sebesar Rp 11,2 Triliun setiap tahun. Kedua, dana bantuan keuangan partai politik hingga Rp 10 Triliun per tahun," kata Apung, Senin (29/6).
Mengenai wacana meningkatkan dana aspirasi, Apung menilai langkah itu tak sesuai dengan arah pembangunan ekonomi antara pusat dan daerah. Dari sisi regulasi, dana aspirasi juga bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Otonomi Daerah, UU Perencanaan Penganggaran, serta UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sementara dana bantuan keuangan partai politik, menurut Apung, pihaknya pun belum melihat positif kegunaannya. APBN seharusnya diperuntukan membiayai belanja publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan sebagai prioritas. Apalagi APBN-P 2015 mengalami defisit 1,9 persen atau mencapai Rp 220 triliun. Adapun APBN 2016, bahkan disinyalir akan menyusut lagi hingga 2,2 persen.
Untuk menutupi minus itu, solusinya akan diambil dari dana utang luar negeri senilai hampir Rp 150 triliun. Di sini, Apung menilai, bahwa jelas dana bantuan keuangan partai politik belum mendesak dan dibutuhkan.
"Berkaca pada dua masalah itu, maka FITRA menuntut DPR agar lebih terbuka matanya, lebih objektif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri dan partai politik," ujarnya.
Apung Widiadi menilai saat ini anggota DPR begitu dominan menekan pemerintah mencairkan dana-dana politik secara legal. Padahal, dua wacana yang digembar-gemborkan DPR, seperti peningkatan dana aspirasi dan bantuan partai politik, kata Apung, cuma menambah beban pemerintah.
Karena menurutnya, di sisi lain sistem perencanaan APBN versi eksekutif juga masih banyak celah penyimpangan. Pemerintah belum maksimal dalam mensinkronisasikan anggaran, pembangunan, dan nawacita.
"Jika ini tidak diperbaiki pemerintah, maka justru akan dimanfaatkan DPR. Menjadi celah terjadinya transaksional untuk dana-dana politik tadi," kata Apung, Senin (29/6).
Karena itu, FITRA menyarankan DPR lebih baik membuat RAPBN Alternatif untuk 2016 dengan prioritas kebutuhan serta kepentingan rakyat. Bukan kepentingan pribadi dan golongannya.
"DPR jangan hanya memanfaatkan RAPBN 2016 sebagai ruang transaksional ekonomi politik. Tapi lebih baik membuat APBN Alternatif 2016," kata Apung.(ef/bp/tribunnews/bh/sya) |