Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index

Lingkungan    
 
JATAM
Surat Terbuka JATAM untuk Presiden Jokowi
2017-09-25 09:38:33

Pertambangan Emas di Poboya.(Foto: Istimewa)
JAKARTA, Berita HUKUM - Kami mendapatkan kabar bahwa Bapak Presiden Joko Widodo beserta rombongan akan datang kembali ke Kota Palu, Sulawesi Tengah, untuk menghadiri agenda Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional 2017.

Kami menghitung ini adalah kali ke empat Bapak Presiden datang mengunjungi kota berjuluk Bumi Tadulako ini. Kami menyampaikan surat terbuka ini dengan maksud memberikan informasi kepada Bapak Presiden, terkait ancaman krisis lingkungan yang semakin parah di Kota Palu.

Apakah Bapak Presiden Joko Widodo sudah mengetahui bahwa Kota Palu berada dalam ancaman keracunan Merkuri dan Sianida dari aktifitas pertambangan emas di Poboya? Tambang emas illegal yang berada di Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Ya, Bapak Presiden. Hingga saat ini 400.000 jiwa penduduk Kota Palu dan sekitarnya dihantui ancaman peracunan Merkuri dan Sianida, baik dari udara dan air akibat pertambangan emas tersebut. Ancaman pencemaran air bukan omong kosong. Penelitian Dinas Kesehatan Kota Palu pada 2014 menunjukkan, 7 dari 10 sampel sumur Baku Mutu Air Bersih di Kota Palu memiliki kadar Merkuri 0,005 atau lima kali lipat di atas standar normal.

Pak Presiden, Poboya adalah kawasan dataran tinggi dengan bentang alam berbukit dan menjadi tempat tangkapan air selama ini. PDAM Kota Palu mengambil dan mengolah air tak jauh dari sana untuk memenuhi kebutuhan air penduduk. Pipa-pipa air PDAM tersebut bersandingan dengan mesin-mesin tromol Merkuri dan kolam Sianida untuk mengolah emas yang tak bisa dipastikan keamanan kandungannya.

Payahnya operasi penambangan malah berada di TAHURA (Taman Hutan Raya) yang merupakan kawasan konservasi. Hukum nampaknya ompong tak menggigit di sana, Pak Presiden. Kawasan konservasi mestinya bebas dari segala aktivitas eksploitatif. Namun sebaliknya, aktivitas pertambangan justru dibiarkan beroperasi di sana.

Menyelesaikan persoalan di Poboya mestilah dengan amatan yang holistik, Pak Presiden. Pertambangan bukan ekonomi orisinil bagi masyarakat Poboya, karena praktik penambangan baru masuk menyerbu diam- diam pada 2008. Begitu juga kehadiran izin tambang Kontrak Karya PT. Citra Palu Mineral (CPM), pun dihadirkan pada 1997. Dahulu ekonomi masyarakat adalah ekonomi pertanian, mereka menanam palawija dan sebagian lagi dari beternak.

Pak Presiden yang terhormat, maraknya pertambangan emas di Poboya juga tidak lepas dari permasalahan peredaran Merkuri dan Sianida yang semakin massif serta tidak adanya penegakan hukum dari pihak yang berwajib. Bahkan Perusahaan Daerah (PERUSDA) Kota Palu menjadi salah satu pemasok resmi Merkuri dan Sianida. Kuat dugaan bahwa PERUSDA Kota Palu juga mengedarkan merkuri dan sianida tersebut kepada empat perusahaan pertambangan yang beroperasi secara illegal di Poboya. Keempat perusahaan tersebut adalah PT. Panca Logam Utama; PT. Madas; PT. Sungai Mahakam; dan PT. Indo Kimia Asia Sukses.

Empat perusahaan ini lah yang melakukan pengolahan emas dengan menggunakan metode perendaman di kolam-kolam sianida dalam skala besar dan leluasa tanpa adanya tindakan hukum dari pihak kepolisian. Tak terbilang betapa besar kerugian Negara dari kehancuran lingkungan dan pencurian emas secara ilegal dari poboya. Sebagaimana pemberitaan kumparan.org, pemimpin perusahaan mengatakan telah dapat izin dari kepala adat untuk menambang. Sungguh Negara tidak hadir di Poboya baik untuk menyelamatlan kekayaan alam milik Negara maupun untuk menjamin keselamatan 400.000 jiwa penduduk Kota Palu yang setiap saat terancam dari peracunan merkuri dan sianida.

Permasalahan yang muncul tidak hanya berhenti pada peredaran Merkuri dan Sianida yang melibatkan perusahaan daerah. Di sisi lain PT. CPM selaku pemilik konsesi Kontrak Karya di wilayah Poboya juga melakukan pembiaran. Bahkan diduga kuat bahwa PT. CPM sengaja membiarkan praktik penambangan illegal di wiayah konsesinya karena menerima setoran dari empat perusahaan tambang illegal tersebut.

Sehingga kita patut mempertanyakan komitmen PT. CPM yang menyatakan akan melakukan reklamasi dan rehabilitasi di wilayah Poboya. Bagi kami komitmen PT. CPM hanyalah bentuk pencitraan semata, mengingat mereka selama ini melakukan pembiaran dan mengizinkan pertambangan emas illegal di atas konsesinya serta diduga kuat menerima setoran dari empat perusahaan tambang illegal.

Bapak Presiden yang baik. Lagi-lagi kembali rakyat yang menjadi korban. Setelah menjadi korban utama akibat terpapar racun Merkuri dan Sianida, kini warga Poboya justru mendapat stigma dan labelisasi sebagai perusak lingkungan karena sumber pencemaran selalu dialamatkan kepada wilayah mereka.

Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, Pak Presiden, butuh lebih dari sekedar kemauan untuk mengatasi masalah di Poboya. Mengembalikan kedaulatan ekonomi warga Poboya harus dimulai dengan meninggalkan ekonomi pertambangan. Mengatasi kerusakan yang diakibatkan pertambangan emas yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun, tidak akan bisa dilakukan jika ekonomi tambang masih dikedepankan.

Penegakan hukum dan penghentian tambang pun tak boleh dilakukan dengan tebang pilih. Memulihkan Poboya berarti juga harus menyetop seluruh aktifitas pertambangan, baik ilegal maupun yang legal.

Termasuk mencabut izin pertambangan PT. CPM. Karena ada 5.000 hektar dari luas wilayah penyangga air, termasuk Poboya, diberikan untuk konsesi pertambangan Kontrak Karya PT. CPM. Kontestasi dan 'orkestra' penghancuran Poboya harus segera dihentikan.

Pak Presiden, timbunan masalah di Poboya salah satunya disulut oleh sikap pemerintah-pemerintah sebelumnya yang sejak dulu tak pernah konsisten; tidak mau membuka dialog dengan masyarakat adat.

Setelah penetapan TAHURA Palu pada 1995, Pemerintah malah menerbitkan izin tambang bagi PT. CPM. Setelah itu disusul lagi dengan dukung-mendukung, memfasilitasi dan melakukan pembiaran dengan cara kucing-kucingan atas pertambangan emas ilegal. Sudah saatnya pemerintah konsisten dan tegas, membuka ruang dialog dengan semua pihak dan mencari jalan keluar terbaik demi ruang hidup dan keselamatan Rakyat.

Bapak presiden, tindakan menyepelekan Merkuri dan Sianida serupa dengan mengundang tragedi. Jangan lupakan Tragedi Minamata di kota Minamata, Jepang, pada 1958. Ketika itu ratusan orang mati setelah diserang kelumpuhan, dan ribuan balita tumbuh cacat. Atau seperti yang terjadi serupa di Indonesia, di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Tenggara yang akhirnya warga harus bedol desa karena Teluk Buyat sudah gagal dipulihkan akibat tercemar tailing dari pertambangan emas milik Newmont Minahasa Raya.

Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah menandatangani Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata mengenai Merkuri) pada 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang. Konvensi itu bertujuan melindungi kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup dari emisi, pelepasan merkuri, serta senyawa merkuri yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada 13 September 2017, Indonesia secara resmi telah meratifikasi Konvensi Minamata dan disahkan menjadi Undang-undang. Ini lah momen yang tepat bagi Pemerintah untuk pertama kalinya menerapkan UU Ratifikasi Minamata di Poboya demi melindungi keselamatan rakyat dari bahaya racun Merkuri, sebagaimana amanat dalam UUD 1945, yaitu untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia.

Kita semua tentu tidak mau rakyat kita dan generasi baru di Palu tumbuh dalam kondisi cacat, lumpuh dan mati di usia dini, anak-anak mengalami penurunan kecerdasan dan kemampuan otak akibat terus-menerus terpapar racun Merkuri dan Sianida. Seperti yang selalu Bapak Presiden sampaikan, Janji Nawacita adalah menghadirkan Negara di tengah-tengah Rakyat, untuk memastikan keselamatan Rakyat, keberlanjutan alam dan lingkungan hidup.

Indonesia kini dalam kondisi darurat tambang dan merkuri, Pak Presiden. Penambangan, baik legal maupun illegal, telah menjadi bom waktu bagi Rakyat Indonesia. Sudah 34 persen wilayah Indonesia dikapling untuk tambang, salah satunya pertambangan emas. JATAM Mencatat 628 izin usaha pertambangan emas yang diobral sejak dulu oleh Pemerintah. Begitu juga tumbuhnya tambang-tambang emas ilegal yang tersebar di 850 titik di seluruh Indonesia.

Celakanya lagi, kini di Pulau Seram, Maluku, sudah marak penambangan batu Cinnabar, bahan baku pokok dalam pembuatan Merkuri. Kini kita menjadi produsen racun yang akan kita gunakan sendiri dan akan terpapar pada diri kita sendiri. Kita harus segera menghentikannya dimulai dari Poboya dan dilanjutkan ke tambang-tambang lainnya. Agar tambang-tambang ini tak menjadi bom waktu dan meledak, meluluh- lantakkan kita semua.

Bapak Presiden, perkenankanlah kami meminta bapak untuk meninjau langsung ke Poboya di Palu, Sulawesi Tengah, mengambil tindakan dan menyatakan darurat Merkuri dan Sianida di Poboya. Pak Presiden, penyelesaian menyeluruh harus segera dilakukan, mumpung sedang berkunjung ke sana.

Bapak Presiden yang terhormat. Kami meminta kepada Anda, selaku pimpinan tertinggi dalam Pemerintahan, untuk memerintahkan Kapolri menindak tegas pelaku penambangan emas maupun pihak- pihak yang memberikan fasilitas penggunaan Merkuri dan Sianida di Poboya. Selain itu, perintahkan juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kapolri untuk menyelidiki dugaan keterlibtan PT. CPM dalam praktek penambangan emas illegal di Poboya, serta meminta Menteri ESDM untuk mencabut izinnya.

Selamat berkunjung ke palu pak presiden, mari kita gotong royong bekerja melawan daya rusak pertambangan demi tanah air dan bangsa tercinta dikunjungan kerja bapak presiden kali ini. solusi menyeluruh kita sekarang ditunggu dan sedang berlomba dengan waktu.

Jakarta, 22 September 2017
Hormat kami


Merah Johansyah Ismail
Koordinator Nasional JATAM.(jtm/bh/sya)


 
Berita Terkait JATAM
 
Tak Cukup Hanya Didenda 2 Miliar, JATAM Desak Pidanakan Pimpinan Indominco
 
Surat Terbuka JATAM untuk Presiden Jokowi
 
JATAM Galang Dana Tutup Lubang Tambang yang Tewaskan 12 Anak di Samarinda
 
Jatam Sulteng Dukung Warga Podi terkait Gugatan Class Action
 
55% Lahan di Kuasai Pertambangan, Touna Krisis Agraria
 
Untitled Document

 Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Pledoi | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index


  Berita Terkini >>
 
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan
Di Depan Jokowi, Khatib Masjid Istiqlal Ceramah soal Perubahan
Enam bulan pertikaian di Gaza dalam angka
Tradisi Idulfitri Sebagai Rekonsiliasi Sosial Terhadap Sesama
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Moralitas dan Spiritualitas Solusi Masalah Politik Nasional Maupun Global
Untitled Document

  Berita Utama >
   
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet
Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu
Dukung Hak Angket 'Kecurangan Pemilu', HNW: Itu Hak DPR yang Diberikan oleh Konstitusi
100 Tokoh Deklarasi Tolak Pemilu Curang TSM, Desak Audit Forensik IT KPU
Untitled Document

Beranda | Tentang Kami | Hubungi | Redaksi | Partners | Info Iklan | Disclaimer

Copyright2011 @ BeritaHUKUM.com
[ View Desktop Version ]