JAKARTA, Berita HUKUM - Perseteruan status legal standing penasehat hukum atau pengacara dari Kivlan Zein dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sejak awal sidang dengan agenda dakwaan, terus berlanjut. Sehingga majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut, harus melakukan verifikasi.
Imbasnya Majelis Hakim yang diketuai Hariono tersebut, memerintahkan JPU melakukan pemanggilan untuk verifikasi status penasehat hukum terdakwa Kivlan Zein. Presidium Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (KAI), Andi Darwin Ranreng datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk didengarkan keterangannya pada, Kamis (10/10).
Dalam persidangan tersebut majelis hakim Hariono menanyakan dan mendengarkan keterangan Andi, perihal legal standing penasehat hukum Kivlan Zein.
Dimuka persidangan Andi menyatakan bahwa advokat berinisial T telah diskors sebagai anggota KAI pada 19 Juli 2019. Putusan itu termaktub dalam perkara kode etik profesi advokat nomor 157/DPP-KAI/KPO/DK/VII/2019.
"Benar yang bersangkutan telah kami jatuhkan sanksi pemberhentian sementara sebagai advokat," ujar Andi didepan majelis hakim Hariono, Kamis (10/10).
Sementara, sidang pembacaan putusan pelanggaran kode etik itu digelar di Kantor DPP KAI Jalan H. Juanda Jakarta Pusat pada 19 Juli 2019 lalu. Duduk sebagai Hakim Ketua Drs Taufik, CH, MH, anggota Andi Darwin Ranreng dan Edward Theorupun.
Menurut Andi, KAI Djuanda adalah organisasi yang pertama mempunyai legal standing di Kementrian Hukum dan HAM saat ini. Sebab didalam organisasi ada beberapa versi KAI. Yakni versi (Alm) Indra Syahnun Lubis dan versi Djujuk Hermanto
Selanjutnya hakim bertanya mengenai kartu advokat milik T yang bernomor P 0005/KAI- WP/2014. "Yang bersangkutan di KAI menjabat sebagai dewan penasehat, yang mulia" ungkap Andi.
Didalam persidangan tersebut, terungkap kuasa hukum Kivlan Zein itu memiliki dua kartu advokat. Kedua kartu advokat tersebut mempunyai masa berlaku tahun 2014 dan 2020.
Lebih lanjut majelis hakim menanyakan kepada Andi, kode etik apa yang menjatuhkan sangsi kepada T tersebut. Menurut Andi kode etik yang berlaku secara umum, yang dibuat oleh KKAI, Komite Kerja Advokat Indonesia.
Lebih lanjut majelis hakim Hariono menegaskan kembali, bahwa masalah saudara T dijatuhi sanksi, bagaimana prosedur dan sebagainya, majelis tidak ikut campur, tegasnya.
"Yang ingin kami klarifikasi adanya dua nomor SK dan KTA, itu saja. Kalau masalah perseteruan, silahkan masing-masing. Ini pengadilan, dan majelis tidak ikut campur. Supaya jangan salah paham, nanti dikira kami memihak," tandasnya.
Usai sidang, kepada wartawan Andi menyatakan kode etik itu emang berlaku kepada semua pihak, karena menurutnya hingga saat ini belum di revisi.
"Kode etik itu dibentuk dari 8 organisasi advokat. Nah 8 organisasi itulah yang membuat kode etik dari cikal bakal sebelum Peradi terbentuk," imbuhnya.
Senada dengan rekannya, Komisioner Pengawas KAI Muhammad Yuntri, menyatakan sangat menyesalkan sikap dan kebijakan hakim Hariono. Karena masih memperbolehkan advokat yang melanggar kode etik dan tidak beracara lagi, tapi masih diperkenankan beracara di persidangan.
"Pada kesempatan tadi, seolah-olah hakim Hariono memberikan peluang kepada penasehat hukum Kivlan Zein untuk mendengar keterangnya," ucapnya.
Lebih lanjut Yuntri meyatakan akan melaporkan Hakim Hariono kepada Komisi Yudisial (KY) dan Badan pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia.
“Kami sangat menyesalkan sikap Hakim Hariono yang tidak menghargai putusan KAI. Untuk itu kami akan melaporkan hal itu ke Komisi Yudisial (KY) dan Bawas Mahkamah Agung,” tandasnya.(bh/ams) |