JAKARTA, Berita HUKUM - Pemerintahan Joko Widodo didesak segera merehabilitasi nama serta memberikan ganti rugi materiil dan immateriil terhadap para aktivis yang dipenjara karena mengkritisi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Desakan itu disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional.
Satyo menyatakan, pemerintah harus menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunan terkait UU Cipta Kerja.
Dalam pandangan Satyo, pemerintah sudah tidak lagi memiliki legal standing dalam melaksanakan UU Ciptaker tersebut.
"Lalu bagaimana dampak hukum yang sudah terjadi karena ngototnya pemerintah untuk mengesahkan UU 11 itu bagi para masyarakat yang sudah dipenjara?" ujar Satyo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (26/11).
Satyo pun membeberkan sejumlah nama para aktivis yang telah dirugikan seperti Syahganda Nainggolan, M. Jumhur Hidayat, Anton Permana.
Catatan Satyo, masih banyak lagi yang dipenjara berbulan-bulan serta kehilangan hak-haknya.
Satyo mendesak pemerintah harus merehabilitasi dan memberika ganti rugi baik secara materiil dan immateriil.
"Sebab mereka semua dituduhkan membuat keonaran ataupun menghasut sehingga terjadi demonstrasi penolakan pengesahan UU Cipta Kerja," tegas Satyo menutup.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa Undang Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja menyalahi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MK juga memerintahkan pada pembentuk UU Ciptaker dalam hal ini pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun.
Sementara, Presiden Joko Widodo jugadidesak untuk meminta maaf seiring keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut bahwa UU Cipta Kerja inskonstitusional bersyarat.
"Jokowi harus minta maaf dan mundur karena ternyata MK membuktikan UU Cipta kerja itu keliru karena bertentangan dengan UUD 1945," ujar Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu siang (28/11).
Secara khusus, permintaan maaf Presiden Joko Widodo harus disampaikan kepada para aktivis yang ditangkap karena dianggap menentang UU tersebut. Mereka antara lain aktivis senior Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat.
Bagi Muslim, penangkapan terhadap kedua aktivis tersebut merupakan perbuatan salah tangkap.
"Tindakan penangkapan itu keliru. Langgar HAM dan UUD 1945. Sebagai kepala pemerintahan, Jokowi harus tanggung jawab. Karena perbuatan penangkapan Syahganda dan Jumhur itu memalukan, langgar HAM dan konstitusi," pungkasnya.
Sedangkan, sebuah pernyataan sikap juga diterbitkan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Pernyataan sikap ini diteken langsung oleh 3 presidium KAMI, Din Syamsuddin, Rochmad Wahab, dan Gatot Nurmantyo.
Dalam pernyataannya, KAMI menilai UU 11/2020 tentang Ciptaker cacat formil dan inkonstitusional, berdasarkan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020.
Selanjutnya KAMI mengimbau agar semua pihak patuh dan taat kepada putusan MK tersebut, di mana MK secara konstitusional adalah lembaga yang merupakan benteng terakhir penjaga konstitusi negara Indonesia (Code of Conduct kepada MK).
Bahwa inti amar putusan yang mengabulkan uji formil Undang-Undang Nomor 11/2020 membuktikan bahwa substansi gugatan yang merupakan protes, kritik dan masukan dari masyarakat luas terhadap UU tersebut adalah benar secara konstitusional.
"Dengan demikian sikap pemerintah yang tidak aspiratif sejak sebelum Omnibus Law menjadi UU dapat dinilai sebagai suatu kesalahan," ujar Gatot, Minggu (28/11)
Dijelaskan bahwa Untuk menyelamatkan konstitusi, sudah seharusnya masyarakat ikut berpatisipasi, seperti yang dilakukan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja.
Tanpa ada kritik dan masukan dari masyarakat, maka sama saja dengan kita membiarkan UU yang melanggar konstitusi dan nilai-nilai demokrasi terus dipergunakan. Partisipasi masyakat ini harus dipandang sebagai fungsi check and balance yang masih berjalan, bukan sebagai ancaman bagi kekuasaan pemerintah.
Berbagai aksi protes terhadap UU Cipta Kerja di berbagai daerah hingga menimbulkan kerusakan fasilitas umum, korban jiwa dan penangkapan-penangkapan juga harus dilihat sebagai konsekuensi dari sikap keras pemerintah yang memaksakan UU Cipta Kerja segera diberlakukan meskipun negara masih dalam kondisi krisis dan rakyat sangat menderita akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, ini merupakan kecerobohan pemerintah dalam menegakkan hukum dengan menangkap dan menahan warga negara sehingga mengalami penderitaan lahir dan batin.
Dengan dikeluarkannya putusan MK ini, pemerintah seharusnya beritikad baik untuk segera menghentikan proses peradilan, dan memvonis bebas Aktivis KAMI seperti Jumhur Hidayat dan Anton Permana, serta merehabilitasi nama dan kehormatan aktifis KAMI Syahganda Nainggolan yang telah divonis dan dipenjarakan secara semena-mena.
"Selayaknya pemerintah juga merehabilitasi nama dan kehormatan para korban lainnya yang meninggal dunia akibat kekerasan aparat saat berlangsungnya aksi massa memprotes UU Cipta Kerja, atau yang telah ditangkap, diadili dan dipenjarakan oleh negara karena dianggap sebagai penghalang berlakunya UU Cipta Kerja, demi tegaknya kembali kewibawaan pemerintah di dalam sistem negara hukum," tegasnya.(mv/RMOL/bh/sya) |