JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua DPR RI Korkesra Fahri Hamzah menyatakan setuju dengan keberadaan Satgas Anti SARA dan juga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang berada langsung di bawah Presiden. Namun ia menegaskan, kedua badan tersebut tidak di konversi menjadi alat untuk menghambat dan menekan kebebasan berpendapat.
"Saya setuju Satgas Anti SARA dan Badan Siber ini di bawah Presiden, karena itu adalah mata dan telinga Presiden dalam mengambil keputusan. Jadi tolong itu digunakan sebagai mata dan telinga Presiden saja, jangan digunakan sebagai mekanisme politik untuk kriminalisasi. Itu bisa memancing kekacauan tambahan," tegas Fahri di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/1).
Menurut Fahri, kriminalitas yang sudah diatur didalam undang-undang, biarlah diproses melalui mekanisme yang normal, jangan dibuat atau didesain. Oleh karenanya, Fahri menghimbau agar keberadaan Satgas Anti SARA dan BSSN jangan sampai dipakai untuk kepentingan tertentu yang tidak semestinya, seperti memantau media sosial untuk mengetahui siapa saja yang menghina Presiden dan keluarganya, atau siapa yang menghina pejabat.
"Laporan-laporan ini bisa berbahaya betul. Karena itu adalah dinamika yang harus kita terima dahulu. Kalau ada orang yang kecewa dengan itikad masyarakat, biarkan saja masyarakat yang melaporkan. Biarlah dinamika itu terjadi secara independen dan natural," tandasnya.
Fahri berharap agar jangan sampai ada lembaga negara yang justru digunakan karena ada kepentingan pribadi. Ia menegaskan, sangat tidak sehat apabila menggunakan institusi-institusi negara yang ada, namun dengan tujuan untuk menghambat kebebasan warga negara dalam berpendapat dan berbicara.
"Meskipun ada diantara kebebasan berpendapat dan berbicara itu yang kebablasan, tetapi mekanisme kebebasan itu akan melakukan koreksi terhadap kebebasan itu sendiri. Kebebasan itu indahnya adalah meskipun dia bebas dan cenderung anarki, tetapi dia punya mekanisme untuk save corrections atau mengoreksi dirinya daripada otorianisme yang tidak bisa dikontrol," pungkasnya.
Sementara, Plt. Ketua DPR RI Fadli Zon menilai sangat berbahaya pernyataan Kepala BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) Djoko Setiadi tentang "hoax yang membangun" dan kewenangan penangkapan, yang dilontarkanya usai pelantikannya 3 Januari 2018 lalu.
"Apapun motifnya, pernyataan semacam itu sangat berbahaya karena sebagai lembaga baru, tugas dan fungsi BSSN punya potensi untuk ditarik-ulur sesuai kepentingan kekuasaan, tak lagi sesuai dengan ketentuan undang-undang," ujar Fadli.
Sejatinya, lanjut Fadli, keberadaan BSSN ini telah dirancang sejak 2015 silam. Desain awalnya bukanlah untuk mengurusi hoax atau konten negatif di internet, tapi membangun ekosistem keamanan siber nasional. Jadi, jika tiba-tiba Kepala BSSN ngomong seolah tugas BSSN adalah untuk menangkal hoax, itu harus segera diluruskan. Untuk mengatasi 'hoax', 'hate speech', atau konten negatif internet, sudah ada lembaga yang menangani hal itu, mulai dari Direktorat Cyber Crime di Bareskrim Polri, Kominfo, hingga Dewan Pers.
Dikatakan Politisi dari fraksi Partai Gerinda ini, tugas BSSN layaknya tugas Kementerian Pertahanan di dunia maya. BSSN, misalnya, harus bisa mengantisipasi serta mengatasi serangan ransomware seperti 'Wannacry' yang sempat bikin heboh tahun 2017 lalu itu. Jangan sampai 'ransomware' semacam itu mengancam atau bahkan merusak infrastruktur siber strategis yang kita miliki, seperti jaringan siber perbankan, bandara, rumah sakit, atau sejenisnya. Jadi, itulah wilayah tugas BSSN, yaitu membangun ekosistem keamanan dunia siber, dan bukannya mengurusi 'hoax' dan sejenisnya.
"Saat ini pengguna internet di Indonesia mencapai 132 juta orang. Hampir semua transaksi perbankan, pajak, listrik, serta transaksi komersial lainnya, kini dilakukan via internet. Apalagi, kini pemerintah dan Bank Indonesia juga sedang mengkampanyekan Gerakan Non Tunai dalam berbagai transaksi. Nah, semua itu butuh pengamanan siber. Sementara saat ini Indonesia masih rentan serangan siber. Sepanjang 2017 saja misalnya, saya baca ada lebih dari dua ratus juta serangan siber. Beberapa kasus serangan terhadap infrastruktur vital yang menonjol adalah usaha peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di awal Februari 2017 lalu, yang terjadi persis pada saat penghitungan suara Pilkada DKI putaran pertama. Hal-hal semacam ini harus bisa diantisipasi," paparnya.(ayu/sc/dep/sc/DPR/bh/sya) |