Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index

EkBis    
 
Telekomunikasi
Ada Apa dengan PP Networking dan Frequency Sharing?
2016-10-06 10:42:34

Tampak para pembicara acara Seminar Sehari Ada Apa dengan PP Networking dan Frequency Sharing? di Jakarta Pusat, Rabu (5/10).(Foto: BH /mnd)
JAKARTA, Berita HUKUM - Seminar Sehari bertajuk 'Ada apa dengan PP Networking dan Frequency Sharing?' guna Pembahasan kebijakan Pemerintah dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang berencana merevisi kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 52/2000 yang mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP nomor 53/2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi dan orbit satelite, kian menuai perdebatan dan polemik dari berbagai kalangan.

Perdebatan datang dari berbagai kalangan yakni; praktisi hukum tata negara, dari kalangan bisnis dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), maupun pihak dari Ombudsman, Komisi I DPR RI serta bahkan dari LSM seperti Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA) yang diwakili oleh Yeni Sucipto, pada Seminar yang diselenggarakan di kawasan Kebun Sirih, Jakarta Pusat. Rabu (5/10).

Alamsyah Saragih, anggota Ombudsman menyampaikan, "Dimana ada situasi yang tidak bisa dihindari, ada pergeseran. Kalau dahulu frekuensi dilihat sebagai sumberdaya yang diatur oleh negara, kemudian Pemerintah, lalu berlanjut ke sisi swasta. Orang yang menjual frekuensi bisa dibagi lagi saat ini," ujarnya.

"Namun, jika dibiarkan terus saya khawatir. Pergeseran ini harus diikuti, dimana kalau frekuensi sebagai barang langka, maka serahkanlah pada pasar," ungkap Alamsyah Saragih, Rabu (5/10).

Soalnya, bila merujuk demi memenuhi asas transparansi mengenai penggunaan spektrum frekuensi dan orbit satelit ke publik, semua kebijakan publik (public policy) dan perundangan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

Alamsyah Saragih juga menyampaikan, Pemerintah mestinya bila berencana, menfasilitasi dan menjelaskan gejala dunia global saat ini bila memang berencana me-Revisi PP (RPP) networking dan frekuensi sharing, melibatkan publik. "PP ini harus terbuka, dimana semua pihak bisa terlibat dan berpartisipasi," jelasnya..

Payung hukumnya sudah jelas dan tertuang sesuai dengan rujukan UU no.36/1999 pasal 5 ayat (2) dan pasal 7 ayat (2) butir D, UU nomor 11 tahun 2012 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan dan Peraturan Presiden no 87/2014 pasal 188, dimana peran serta masyarakat wajib dilibatkan dalam setiap pembentukan perundangan termasuk Peraturan Pemerintah.

Bila Pemerintah tidak melibatkan peran masyarakat, RPP networking frekuensi sharing cacat hukum. "Tata cara pembuatan UU kan tertuang dalam peraturan pada tahun 2011, paling tidak ini akan memperlemah ketika mau merubah, nantinya kan hakim akan melihat, cacat hukum," cetusnya.

Kemenkominfo mestinya membuka draft revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 52/2000 dimana mengatur tentang penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP nomor 53/2000. Rencana penerbitan Revisi PP 52 dan 53 tahun 2000.

Sementara itu, menurut pandangan pengamat hukum tata negara, Margarito Khamis, bahwa revisi PP ini jelas indikasinya mengandung muatan dan menilai bahwa ada bentuk gambaran praktik merkantilis.

Margarito mengingatkan kalau yang terpenting dan terutama adalah supaya memperhatikan hal yang 'unexpected consekuensis' dalam penentuan perumusan kebijakan. "Dimana cara berpikir harus memperhatikan dari sisi para pelaku rente. Sebagai contoh saja jika tidak menguasai Hukum, biasanya pengusaha yang 'pintar' adalah yang bisa menempatkan 'orang-orang'nya di DPR," kata Margarito.

Margarito menambahkan, kalau dalam upaya revisi ini jangan sampai seperti pada sistem merkantilis dahulu, yang mana pada sistem yang pernah Inggris di abad 18, dimana para pedagang besar memanfaatkan dan menekan parlemen untuk menyetujui kepentingan pihak tertentu.

"Nah, yang menjadi pertanyaan di benak kita masing-masing saat ini kan, apakah Menkominfo ini Pancasilais, Kapitalis, atau lebih mengarah ada Merkantilis ?," ungkapnya penuh tanda tanya.

Menurutnya, perubahan pada PP ini dianggap menyalahi prosedur hukum, selain itu kecenderungan dalam revisi ini mencoba lebih menguatkan PP dibandingkan UU Telekomunikasi No. 36/1999.

"Mestinya, UU adalah patokan hukum yang wajib lebih didahulukan atau dipegang dibandingkan aturan yang lainnya," jelas Margarito.

"Apakah Pemerintah kita ini Hukum sebagai panglima? itu bukan supremasi hukum namanya. Itu namanya politik. Disitulah orang-orang politik ini diharapkan berbicara mengenai ketulusan, selebihnya soal gampang," cetusnya.

Seperti diketahui bahwa, dapat dilihat sebelumnya dari revisi PP yang ada dalam surat edaran (SE) Nomor 1153/M.Kominfo/PI/02.04/08/2016, yang telah ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika, Gerayantika Kurnia seperti yang mana diberitakan di media beberapa bulan yang lalu ( 2 Agustus 2016 lalu) yang berisikan putusan kebijakan 'penurunan tarif' Interkoneksi ditetapkan tertuang berdasarkan surat edaran tersebut diatas dan diberlakukan dimulai 1 September 2016 hingga Desember 2018.

Yang sejauh ini Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) belum seluruhnya diserahkan oleh operator kepada pemerintah maka mesti ditunda. Dan Pemerintah menetapkan penurunan tarif interkoneksi antaroperator selular dengan rata-rata 26% dari 18 skema.

Salah satu persoalan yang hangat dibicarakan adalah ketentuan mengenai interkoneksi yang diatur dalam bagian IV-VII PP nomor 52/2000 mengenai penyelenggaraan telekomunikasi. Pasal 22 dan 23 PP tersebut mensyaratkan kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak saling merugikan, dan biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.

Selanjutnya dalam pasal 37 PP tersebut menjelaskan bahwa besaran biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan formula, dan penetapan formula berdasarkan biaya (cost based).
Pemerintah sendiri sejak awal proses perhitungan ulang biaya interkoneksi pada 2015 berencana melakukan perhitungan biaya intekoneksi tiap operator. Pemerintah juga telah memperoleh kesepakatan dari tiap operator dan telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tiap operator.

"Draft revisi PP ini bertentang dengan UU yang ada, tidak boleh begitu. Revisi ini seolah telah melampaui UU yang sudah ada. Padahal PP adalah penjabaran dari isi UU yang telah ada sebelumnya," tegas Margarito. yang menegaskan bahwa hal itu semakin banyak Undang-undang semakin kacau, "Inilah yang bikin kacau. Bikinlah hingga kacaulah negara itu. UU dibuat, nanti ada bagian tertentu diatur lebih lanjut dalam PP. Mana ada pada sistem kita yang menetapkan Dirjen memiliki kekuatan hukum dalam penentuan ini," ujarnya kecewa menimpali yang terjadi.

Kemudian Margarito menilai bila RPP ingin bisa tetap dijalankan, harus memperhatian hal yang detail, dan melihat dari celah yang kurang pada UU. Namun syaratnya, harus memberikan manfaat yang baik dan tak cuma menguntungkan salah satu pihak saja.

"Siapkan draft tandingan. Tawarkan yang lebih baik. Di draf pemerintah, cari mana yang masih bolong-bolong dan perlu diperbaiki. Saya berharap betul, Komisi I DPR mengawal terus masalah ini," tegas Margarito. Permintaan itu pun langsung ditanggapi Anggota Komisi I DPR Hanafi Rais yang hadir pada acara tersebut.

Kemenkominfo harusnya membuka draft revisi peraturan pemerintah (PP) no. 52/2000 dan PP nomor 53/2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi dan orbit satelite sesuai etika regulasi, semua kebijakan publik (public policy) dan perundangan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, Pemerintah harus melibatkan publik, mengatur tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP nomor 53/2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi dan orbit satelite sesuai etika regulasi, semua kebijakan publik (public policy) dan perundangan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, Pemerintah harus melibatkan publik.

Memang partisipasi publik tidak harus semua masyarakat dilibatkan, namun pemangku kepentingan seperti pelaku bisnis yang akan terkena dampak dari kebijakan itu, ke publik guna memenuhi asas transparansi.

Kalau dilihat dari revisi PP ini, sepertinya memberikan pengaruh besar kepada publik. Artinya seluruh pelaku usaha telekomunikasi harus dimintai pendapat dan persetujuannya.

Dari kabar yang beredar, ada dua (2) pasal dari kedua PP yang menjadi titik krusial yakni pasal 12 revisi PP nomor 52/2000 dan pasal 25 revisi PP nomor 53/2000. Pasal 12 revisi PP nomor 52/2000 membahas mengenai Network Sharing. Dalam revisi PP tersebut dijelaskan network sharing merupakan kewajiban seluruh operator telekomunikasi di Indonesia.

Sedangkan, di pasal 25 revisi PP nomor 53/2000 diizinkan frekuensi atau spektrum yang dikuasai operator telekomunikasi dapat dipindahtangankan. Padahal frekuensi merupakan sumber daya terbatas yang dimiliki oleh negara dan tidak bisa diperdagangkan atau dialihkan.

Menurut Hanafi Rais, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, sejauh ini memang dari DPR akan terus mengawasi proses revisi kedua PP ini agar taat asas dan tidak menimbulkan masalah. "DPR biasanya baru diajak bicara bila sudah ada masalah. Ada memang semangat untuk mereformasi, namun bagi sebagian orang meliberalisasi," ujar Hanafi.

"Boleh-boleh saja Menkominfo Rudiantara punya semangat reformasi atas liberalisasi di sektor telekomunikasi. Tapi sayangnya, semangat revisi PP ini bertentangan dengan UU Telekomunikasi," ungkapnya,, dimana memang dalam network sharing, perspektif industri beda dengan konsumen. Konsumen butuh layanan bagus, industri berkeinginan efisien.

Hanafi pun menjelaskan, jika dalam kedua PP tersebut akan direvisi tanpa dikoreksi, akan menjadi ultra liberalisasi dan semakin longgar bagi swasta dan asing, jelas ini bukan untuk kepentingan negara atau bangsa.

Ia menilai ada upaya liberalisasi dalam upaya revisi PP itu lantaran akan berdampak merugikan pihak operator milik BUMN dan lebih memberikan keuntungan terhadap operator asing.

"Kalau PP ini tidak dikoreksi, ini bisa disebut PP ultra-liberalisasi. Asing akan semakin diuntungkan dengan revisi ini, tapi benefitnya tidak untuk Negara," katanya.

Tapi sayangnya, kata Hanafi, "revisi ini menabrak beberapa pasal di UU existing. Di UU izinnya untuk bangun infrastruktur, tapi di lapangan kalau tidak profitable lalu mengajak operator lain menjadi masalah. Harusnya regulasi yang tepat dan tidak liberal draft seperti sekarang yang muncul. Lebih baik ditunda dahulu RPP itu," tukas Hanafi mengingatkan.(bh/mnd)


 
Berita Terkait Telekomunikasi
 
Ingin Beli Smartphone 5G? Ini Perbedaan Jaringan 4G dan 5G
 
Kesenjangan Digital Masih Tinggi, Wakil Ketua MPR: Perlunya Kolaborasi dan Akselerasi Kinerja Digital
 
Kemenkominfo Imbau Masyarakat Beli STB Seperti Ini, Biar Aman
 
Nonton Siaran TV Digital Tanpa Set Top Box, Ternyata Ini Caranya
 
Ngebreak Pakai Radio Amatir Ayahnya, Gadis 8 Tahun Berhasil Jalin Kontak dengan Astronot NASA di ISS
 
Untitled Document

 Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Pledoi | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index


  Berita Terkini >>
 
Apresiasi Menlu RI Tidak Akan Normalisasi Hubungan dengan Israel
Selain Megawati, Habib Rizieq dan Din Syamsuddin Juga Ajukan Amicus Curiae
TNI-Polri Mulai Kerahkan Pasukan, OPM: Paniai Kini Jadi Zona Perang
RUU Perampasan Aset Sangat Penting sebagai Instrument Hukum 'Palu Godam' Pemberantasan Korupsi
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan
Di Depan Jokowi, Khatib Masjid Istiqlal Ceramah soal Perubahan
Untitled Document

  Berita Utama >
   
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet
Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu
Dukung Hak Angket 'Kecurangan Pemilu', HNW: Itu Hak DPR yang Diberikan oleh Konstitusi
Untitled Document

Beranda | Tentang Kami | Hubungi | Redaksi | Partners | Info Iklan | Disclaimer

Copyright2011 @ BeritaHUKUM.com
[ View Desktop Version ]